Selasa, 02 Februari 2016

Ummu Dzar Al-Ghifariyah: Teladan Istri Setia Pendamping Suami



Shahabiyah yang akan kita telusuri kisahnya kali ini adalah  Ummu Dzar, istri shahabat Abu Dzar Al-Ghifari. Kesetiaannya mendampingi  suami, layak diteladani. Betapa tidak, karena beliau ikhlas merawat dan menemani sang suami hingga ajal menjemput . Dalam kesendirian di padang pasir liar nan luas membentang.

Rabadzah, tempat tinggal Abu Dzar Al-Ghifari
 
Karena adanya perbedaan pendapat, dengan Utsman bin Affan, maka Abu Dzar Al-Ghifari dan keluarganya memilih Rabadzah, padang pasir liar sebagai tempat tinggal mereka. Sebuah keputusan yang sangat berani. Karena daerah tersebut sangat jarang dilalui kafilah. Dan mereka pun hidup tanpa ada tetangga di kanan dan kirinya.

Sang istri yang shalihah, tanpa keluh kesah , dengan setia, mendampingi Abu Dzar Al-Ghifari dan anaknya. Hidup dalam kesederhanaan yang amat sangat. Ditambah lagi, di kemudian hari Abu Dzar Al-Ghifari menderita sakit yang cukup parah.

Menjelang ajal menjemput

Ajal pun semakin dekat, Ummu Dzar selalu berada di sisi sang suami untuk mengurus segala keperluannya. Melihat kondisi, yang semakin parah … Ummu Dzar akhirnya menangis di samping sang suami.

Abu Dzar bertanya, “ Apa yang kamu tangiskan, padahal maut itu pasti datang ?”

“ Karena engkau akan meninggal, padahal pada kita tidak ada kain untuk kafanmu!” jawab Ummu Dzar pilu.

Abu Dzar tersenyum dengan amat ramah, seperti layaknya orang yang akan merantau jauh. Lalu berkata kepada istrinya itu,” Janganlah menangis!  Pada suatu hari, ketika saya berada di sisi Rasulullah saw bersama beberapa sahabatnya saw, saya dengar Beliau saw  bersabda,” Pastilah ada salah seorang di antara kalian yang akan meninggal di padang pasir liar, yang akan disaksikan nanti oleh serombongan orang-orang beriman!”

Semua yang ada di majelis Rasulullah saw telah meninggal di kampung dan di hadapan jama’ah kaum muslimin. Tidak ada lagi yang hidup di antara mereka kecuali aku.

Nah, inilah aku sekarang menghadapi maut di padang pasir. Maka perhatikanlah jalanan, kalau-kalau rombongan orang-orang beriman itu sudah datang !

Demi Allah, saya tidak bohong, dan tidak pula dibohongi!”

Tak berapa lama,  Abu Dzar pun kembali ke hadirat Allah SWT. Innalillahi wa inna illaihi rooji’un.

Kenyataan yang ada

Subhanallah! Apa yang diucapkan Abu Dzar sungguh menjadi kenyataan. Karena tentu saja dia tidak berbohong, dan pasti tidak dibohongi. Karena Rasulullah SAW adalah ma’shum.

Tidak lama berselang, sesudah Abu Dzar menghembuskan nafas terakhirnya, tampak serombongan kafilah  yang sedang berjalan cepat di padang sahara itu. Subhanallah! Kafilah itu adalah Kafilah kaum mukminin yang  dipimpin oleh Abdullah bin Mas’ud, salah seorang sahabat Rasulullah SAW. Ibnu Mas’ud, merasa sangat trenyuh, karena ia melihat  sesosok tubuh yang terbujur seperti jenazah, sedang di sisinya duduk seorang perempuan tua, Ummu Dzar dan anaknya yang sedang menangis.
...Subhanallah! Betapa kesetiaan, ketegaran dan ketabahan Ummu Dzar, sangat layak dicontoh. Setia dan istiqamah mendampingi sang mujahid pilihan, hingga akhir hayatnya....
Subhanallah! Betapa kesetiaan, ketegaran dan ketabahan Ummu Dzar, sangat layak dicontoh. Setia dan istiqamah mendampingi sang mujahid pilihan, hingga akhir hayatnya. Walaupun harus bertempat tinggal di  padang pasir liar, padahal usianya sudah sangat tua. Dan tanpa harta yang berharga, hingga, kain untuk mengkafani suaminya pun tidak dimilikinya.

Ibnu Mas’ud, membelokkan tali kekangnya ke arah perempuan tua tersebut. Diikuti anggota rombongan dibelakangnya. Saat pandangan matanya tertuju pada tubuh sang jenazah … tampak olehnya wajah sahabatnya … sahabat seaqidah, sahabat seperjuangan dalam membela tegaknya Islam. Dialah Abu Dzar . Maka, air mata pun mengucur deras dari kedua pelupuk matanya. Innalillahi wa inna illaihi rooji’un. Ia pun berkata, “Benarlah ucapan Rasulullah SAW. Anda berjalan sebatang kara. Mati sebatang kara. Dan dibangkitkan sebatang kara !”

Ibnu Mas’ud RA pun duduk, lalu bercerita kepada para sahabatnya maksud dari pujian yang diucapkannya.

‘ Anda berjalan seorang diri, mati seorang diri, dan dibangkitkan nanti seorang diri !”

Ucapan itu terjadi di waktu Perang Tabuk, tahun kesembilan Hijriah.

Perang Tabuk

Perang Tabuk, adalah perang melawan pasukan Romawi yang cukup menakutkan. Mereka berada di satu tempat dan siap menggempur umat Islam.  Saat itu, musim panas teramat teriknya. Sehingga tidak banyak kaum muslimin yang menyambut seruan Rasulullah SAW. 

Mereka yang ikut pun, akhirnya berguguran di tengah jalan, satu demi satu . Sebagian disebabkan azam yang tidak mantap. Abu Dzar sempat tertinggal oleh rombongan, karena keledai yang ditungganginya, berjalan sangat gontai. Disebabkan lapar yang sangat dan teriknya matahari yang membakar. Namun Abu Dzar tidak patah semangat.
Akhirnya, karena tidak ingin tertinggal dalam kesempatan jihad, saat itu, Abu Dzar bertekad melanjutkan perjalanannya, mengejar rombongan Rasulullah saw dengan berjalan kaki, sambil memikul beban bawaannya.

Subhanallah, alhamdulillah, Allahu akbar, ia berhasil . Alhamdulillah, bi-iznilah Abu Dzar dapat bertemu kembali dengan rombongan Rasulullah saw saat mereka beristirahat. Azam yang kuat, memberikan hasil akhir yang diharap.

Sungguh, menggapai surga adalah  hal yang tidak mudah dan hanya diberikan kepada hamba-hambanya yang terpilih …

“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, Padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, Sesungguhnya pertolongan Allah itu Amat dekat” (Qs. Al-Baqarah 214).

Sebagai muslimah, banyak hal dapat kita lakukan dan persiapkan untuk berkhidmat di jalan-Nya. [ummu izzah/voa-islam.com]

Maroji: 101 Wanita Teladan di Masa Rasulullah SAW oleh Hepi Andi Bastoni.

Salma Binti Qais Al-Anshariyyah: Sang Perantara Kebaikan



CAHAYA Islam mulai bersinar di Madinah. Banyak manusia yang masuk Islam, di antaranya orang-orang dari Bani Najjar. Dan di antara mereka terdapat Salma binti Qais bin Amru bin Al-Anshariyyah An-Najjariyyah, yang dikenal dengan Ummu Al-Mundzir.
    
Ummu Al-Mundzir termasuk salah seorang wanita yang pertama memeluk Islam dan berpartisipasi dalam dua baiat yang penuh berkah. Oleh karenanya dia sering dijuluki dengan “Si Pemelihara Dua Baiat”. Ummu Al-Mundzir berkata, “Kami bersama para wanita Anshar datang menghadap kepada Rasulullah SAW untuk berbaiat. Ketika disyaratkan kepada kami untuk tidak menyekutukan Allah, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak kami, tidak membuat tuduhan kotor dan palsu, serta tidak bermaksiat kepada beliau dalam kebaikan, maka beliau bersabda, “Janganlah kalian melakukan tindakan penipuan kepada para suami kalian.”

Kemudian Ummu Al-Mundzir berkata, “Setelah berbaiat kepada beliau, lalu kami kembali ke rumah. Maksud dari penipu para suami dijelaskan Rasulullah, “Engkau mengambil hartanya, lalu engkau dengan harta itu mencintai orang lain.” Inilah isi deklarasi dalam baiat para wanita. Ummu Al-Mundzir sangat kuat menjaga baiatnya sehingga dia mendapatkan berbagai kebaikan
…Ummu Al-Mundzir memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Rasulullah. Dia mempunyai kontribusi dan andil penting dalam proses masuk Islamnya seseorang…
Tak heran jika Ummu Al-Mundzir memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Rasulullah. Pasalnya, dia mempunyai kontribusi dan andil penting dalam proses masuk Islamnya seseorang. Pada saat berlangsungnya jihad, Ummu Al-Mundzir menemani salah seorang pria dan merekomendasikannya untuk masuk Islam di hadapan Rasulullah. Peristiwa ini terjadi ketika berlangsung Perang Bani Quraizhah, yaitu ketika Sa’ad bin Mu’adz menetapkan suatu keputusan untuk seorang Yahudi dan Bani Quraizhah. Keputusan itu adalah pembunuhan kaum pria, perampasan harta, dan penawanan kaum wanita serta anak-anak. 

Keputusan hukum akan mulai dilaksanakan. Pada saat itu Ummu Al-Mundzir dengan beberapa wanita mujahidah lainnya sedang bersama Rasulullah. Dia maju mendekat kepada Rasulullah untuk meminta kepada beliau agar mengembalikan kepadanya seseorang bernama Rifa’ah Al-Qurazhi yang pernah diajak kerjasama Ummu Al-Mundzir. Lalu Ummu Al-Mundzir berkata, “Wahai Nabi Allah, aku tebus engkau dengan ayah dan ibuku. Berikan kepadaku Rifa’ah. Dia berjanji akan melakukan shalat dan makan daging unta.”

Kemudian Rasulullah menyerahkannya kepada Ummu Al-Mundzir seraya bersabda, “Jika dia mau melakukan shalat, maka itu lebih baik bagi dirinya. Jika dia tetap kokoh pada agamanya, maka hal itu lebih jelek bagi dirinya.” Dan akhirnya Rifa’ah masuk Islam. Dia berkesempatan mendampingi Rasulullah dan meriwayatkan hadits. Rifa’ah adalah paman Ummul Mukminin Shafiyyah bintu Huyaiy.
Tidak hanya itu saja Ummu Al-Mundzir menjadi perantara dalam hal kebaikan. Ibnu Said mengatakan, “Ketika Bani Quraizhah tertawan, Rasulullah menyuruh Raihanah binti Zaid bin Amr untuk datang ke rumah Salma binti Qais alias Ummu Al-Mundzir, untuk selanjutnya tinggal di sana. Raihanah akhirnya tinggal di rumah Ummu Mundzir hingga mendapatkan sekali haid, lalu suci dari haidnya. Setelah itu Ummu Al-Mundzir datang kepada Rasulullah dan menyampaikan berita tentang Raihanah.
…Ummu Al-Mundzir menjadi perantara dalam hal kebaikan, bahkan dia pun termasuk salah seorang perawi hadits Nabi yang suci, dan banyak orang yang meriwayatkan hadits darinya…
Rasulullah mendatanginya di rumah Ummu Al-Mundzir, lalu bersabda kepadanya, “Jika engkau berkehendak, maka aku akan memerdekakanmu, lalu menikahimu. Akan kulakukan. Jika engkau tetap ingin menjadi milikku (budak), maka tentu aku akan melakukannya pula.” Raihanah menjawab, “Wahai Rasulullah, aku menjadi milikmu adalah lebih ringan bagiku dan bagimu.” Raihanah pun kemudian menjadi milik Rasulullah sampai meninggal dunia.

Bahkan dia pun termasuk salah seorang perawi hadits Nabi yang suci, dan banyak orang yang meriwayatkan hadits darinya, di antaranya adalah Ya’qub bin Abi Ya’qub Al-Madani, Ayyub bin Abdurrahman, dan Ummu Sulaith binti Ayyub bin Al-Hakam. Demikianlah, Ummu Al-Mundzir memiliki banyak peranan dalam amalan kebaikan. Semoga Allah meridhai Ummu Al-Mundzir. Semoga Allah menjadikannya salah seorang yang dekat dengan-Nya di dalam surga An-Na’im. [ganna pryadha/voa-islam.com]
 
Referensi: Nisaa` min ‘Ashri An-Nubuwwah, Syaikh Ahmad Khalil Jam’ah.

Asy-Syifa Al-Adawiyah: Shahabiyah Mulia Pakar Pengobatan Ruqyah




Allah SWT telah mewahyukan kepada Nabi Muhammad SAW berbagai macam ilmu di dalam Al-Qur’an dan hadits. Semua ajaran itu menjamin kebaikan manusia, baik secara akal, fisik, maupun jiwa. Salah satunya adalah mengenai kesehatan. Rasulullah SAW mengamalkan ajaran-ajaran yang berkaitan dengan masalah kesehatan secara kontinyu.
Dalam haditsnya, Rasulullah menekankan pentingnya kesehatan bagi manusia. Beliau bersabda, “Mintalah kesehatan kepada Allah karena tidak ada pemberian yang lebih baik bagi seseorang setelah keimanan daripada kesehatan.” (HR. An-Nasa’i, At-Tirmidzi, Ahmad, dan Al-Hakim)
Suatu hari, seorang Arab Baduy bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, apa yang sebaiknya saya mohonkan kepada Allah setelah selesai mengerjakan shalat?” Beliau menjawab, “Mintalah kesehatan kepada Allah.” (HR. At-Tirmidzi)
Begitu pentingnya persoalan kesehatan, tak sedikit para sahabat dan shahabiyah yang mendedikasikan diri menjadi tabib atau tabibah untuk membantu memelihara kesehatan orang-orang ketika itu. Begitu banyak para tabib yang sangat masyhur pada masa permulaan Islam. Pun demikian, tak sedikit pula para tabib dari kalangan wanita yang menguasai masalah kesehatan, salah satunya adalah Asy-Syifa binti Abdullah.
…Begitu banyak para tabib dari kalangan shahabat yang masyhur pada masa permulaan Islam, salah satunya adalah Asy-Syifa binti Abdullah…
Wanita bernama lengkap Asy-Syifa binti Abdullah bin Abdu Syams Al-Qurasyiyah Al-Adawiyah ini dikenal sebagai salah satu sahabiyah yang memiliki kecerdasan dan keterampilan dalam bidang kedokteran, khususnya dalam hal kejiwaan. Dia terkenal dengan pengobatan ruqyahnya.
Kedudukan dan Keutamaannya
Shahabiyah yang dijuluki dengan Ummu Sulaiman dan istri dari Abu Hutsmah bin Khudzaifah bin Ghanim Al-Qurasyi Al-Adawi ini memiliki kedudukan terhormat di kalangan para shahabiyah lainnya. Ini mengingat, ibunda dari Sulaiman bin Abu Hutsmah ini memiliki kedudukan khusus di sisi Rasulullah, dikarenakan keimanannya yang kokoh kepada Allah dan Rasul-Nya.
Asy-Syifa masuk Islam sejak sebelum hijrah. Dia termasuk salah seorang wanita yang bergabung dalam rombongan hijrah pertama, dan telah berbaiat kepada Rasulullah. Bahkan Rasulullah sering mengunjunginya dan istirahat siang di rumahnya.
Mengetahui bahwa Rasulullah kerap singgah di rumahnya, Asy-Syifa pun menyediakan kasur dan sarung khusus untuk tidur beliau. Wajar jika kemudian Asy-Syifa pun memiliki kedudukan yang tinggi di sisi para istri Nabi Muhammad. Dia juga sering berkunjung ke rumah Ummul Mukminin Hafshah untuk mengajarinya baca-tulis.
Bahkan Rasulullah juga menyuruh Asy-Syifa untuk mengajari Hafshah cara meruqyah penyakit eksim. Sebagaimana di-takhrij oleh Abu Dawud dengan sanad dari Asy-Syifa, bahwasanya dia berkata, “Rasulullah datang kepadaku ketika aku berada di rumah Hafshah. Beliau lalu bersabda kepadaku, “Tidakkah engkau mengajari dia (Hafshah) cara meruqyah eksim sebagaimana engkau mengajarinya baca-tulis?”
...Karenan pengetahuannya yang mumpuni dalam bidang kesehatan dan kedokteran, Asy-Syifa pun cukup dihormati Rasulullah…
Dikarenakan pengetahuannya yang mumpuni dalam bidang kesehatan dan kedokteran, Asy-Syifa pun cukup dihormati Rasulullah yang selalu menyambung tali silaturahmi dengannya. Rasul bahkan memperkenankan Asy-Syifa untuk menempati sebuah rumah di Madinah. Dia tinggal di rumah tersebut bersama putranya, Sulaiman bin Abu Hatsmah.
Izin Meruqyah dari Rasulullah
Dikarenakan kelebihannya dalam bidang kedokteran, Asy-Syifa menjadi salah seorang wanita masyhur di antara wanita kaumnya. Dengan kemampuannya, dia tampil sebagai salah seorang yang menguasai berbagai rahasia kedokteran dan ruqyah, serta segala hal yang berkaitan dengannya.
Ketika cahaya Islam telah menyeruak ke berbagai negeri, Rasulullah membolehkan penggunaan ruqyah untuk menyembuhkan keracunan karena sengatan binatang, sakit mata, dan eksim. Karena Asy-Syifa telah biasa melakukan ruqyah, dia mendatangi Rasulullah untuk meminta izin beliau melanjutkan profesinya demi berkontribusi dalam bidang kesehatan.
Ibnu Qayyim menerangkan bahwa Asy-Syifa binti Abdullah meruqyah sejak zaman Jahiliyah, khususnya untuk mengobati penyakit eksim. Ketika dia berhijrah kepada Rasulullah, lalu berbaiat kepada beliau saat di Makkah, dia berkata, “Wahai Rasulullah, aku biasa meruqyah sejak zaman Jahiliyah untuk mengobati penyakit eksim, dan kini aku hendak menunjukkannya kepada engkau.”
Asy-Syifa lantas menunjukkan kemampuannya dalam meruqyah kepada Nabi SAW, “Dengan nama Allah, sesat sehingga kembali dari mulutnya dan tidak mengganggu seseorang. Ya Allah, hilangkan kesulitan, wahai Rabb sekalian manusia.”
…Asy-Syifa bukan tipikal egois dan pelit dalam mengajarkan ilmu yang dimilikinya kepada para wanita lainnya…
Asy-Syifa bukan tipikal seseorang yang egois dan pelit dalam mengajarkan ilmu yang dimilikinya. Dengan izin dari Rasulullah, dia melanjutkan profesinya dan mengajarkannya kepada para wanita lainnya.
Asy-Syifa dan Hadits Rasulullah
Tak hanya piawai dalam masalah kesehatan dan kedokteran, Asy-Syifa juga meriwayatkan berbagai peristiwa dari Nabi Muhammad SAW dan Umar bin Al-Khatthab. Sebagian dari riwayat tersebut adalah bahwa Rasulullah ditanya tentang amal-amal yang paling mulia. Beliau bersabda, “Iman kepada Allah, berjihad di jalan-Nya, dan haji yang mabrur.”
Asy-Syifa mendedikasikan hidupnya untuk ilmu, amal, zuhud, ibadah, dan berkontribusi kepada orang lain. Semua itu dilakukannya sampai dia kembali kepada Allah SWT…
Demikianlah, Asy-Syifa mendedikasikan hidupnya untuk ilmu, amal, zuhud, ibadah, dan berkontribusi kepada orang lain. Semua itu dilakukannya sampai dia kembali kepada Allah SWT. Dia meninggal dunia pada masa Khalifah Umar bin Al-Khatthab, sekitar tahun 20 Hijriyah. Semoga Allah meridhainya. Amin. [ganna pryadha/voa-islam.com]

Zainab binti Jahsy: Muslimah Patriotik, Berjiwa Besar dan Dermawan


Zainab binti Jahsy bin Riab bin Ya’mar Al-Asadiyah, dari Bani Asad bin Khuzaimah Al-Mudhari. Ibunya bernama Umayyah binti Abdul Muthalib bin Hasyim, dan paman-pamannya adalah Hamzah dan Al-Abbas, keduanya adalah anak Abdul Muthalib.
Zainab termasuk wanita yang taat dalam beragama, wara’, dermawan, dan baik. Selain itu, dia juga dikenal mulia dan cantik, serta termasuk wanita terpandang di Makkah. Nama aslinya adalah Barrah, namun Nabi Muhammad SAW menyebutnya Zainab. Dinyatakan dalam hadits Al-Bukhari dan Muslim, dari Zainab binti Abu Salamah, dia berkata, “Namaku adalah Barrah, akan tetapi Rasulullah kemudian memberiku nama Zainab.” (HR. Muslim dalam Al-Adab, 14/140).
Zainab memeluk Islam di Makkah dan sempat mengalami siksaan dari orang-orang kafir Quraisy. Namun dia tetap bersabar dan mengharapkan ridha Allah, hingga akhirnya dia ikut berhijrah ke Habasyah (Ethiopia). Bersama kaum muslimin lainnya, Zainab kembali ke Makkah, hingga akhirnya Allah mengizinkannya untuk berhijrah ke Madinah Al-Munawwarah. Zainab termasuk wanita yang pertama kali berhijrah dan memiliki sikap  patriot yang diabadikan dalam buku-buku sejarah.
…Zainab memiliki sikap  patriot yang diabadikan dalam buku-buku sejarah…

Ketaatannya kepada Allah

Zaid adalah salah seorang hamba sahaya milik Khadijah binti Khuwailid. Ketika Rasulullah menikahi Khadijah, dia memberikan Zaid binti Haritsah kepada beliau. Dan itu terjadi sebelum masa kenabian Muhammad. Zaid kemudian tinggal di rumah Nabi Muhammad. Kemudian keluarga Zaid mencarinya ke Makkah, dan ingin menebusnya. Mereka datang kepada Nabi untuk memintanya dari beliau. Kemudian beliau memberi pilihan kepadanya antara tetap tinggal bersama beliau atau ikut keluarganya. Zaid lebih memilih untuk bersama Nabi daripada harus bersama keluarganya.
Rasulullah lantas keluar ke tempat Hajar Aswad, dan bersabda, “Wahai hadiri sekalian, saksikanlah bahwa Zaid adalah anakku, dia mewarisiku dan aku mewarisinya.” Beliau memanggilnya dengan Zaid bin Muhammad, hingga turunlah firman Allah:
Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu” (Al-Ahzab 5).
Nabi Muhammad sangat menyayangi Zaid. Ketika Zaid telah memasuki usia menikah, beliau memilihkan Umamah (Zainab), anak perempuan dari bibinya. Namun Zainab dan saudaranya, Abdullah, tidak menyetujui pernikahan itu. Zainab berkata kepada Rasulullah, “Aku tidak rela akan diriku, sedangkan aku adalah gadis Quraisy.” Namun Nabi menghendaki agar Zainab dan Abdullah mau menerima pernikahan itu.
…Ketaatan, keridhaan, dan keikhlasan Zainab merefleksikan kekuatan iman dan relasinya yang baik dengan Allah…
Nabi berkata kepada Zainab, “Nikahilah dia, sesungguhnya aku telah meridhainya untukmu.” Sebelum Zainab ragu tentang pernikahan ini, Allah menurunkan firman-Nya:
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata” (Al-Ahzab 36).
Setelah ayat tersebut diturunkan, Zainab dan saudaranya berkata, “Kami menyetujui, wahai Rasulullah.” Zainab berkata, “Aku telah menyetujui untuk dinikahkan, wahai Rasulullah.” Beliau kemudian bersabda, “Aku Telah merestuimu.” Zainab kembali berkata, “Jadi, aku tidak berbuat maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, karena engkau telah menikahkannya denganku.”
Dengan sikapnya ini, Zainab telah memberikan contoh yang terbaik bagi kita dalam melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya. Demikian, seharusnya sikap yang wajib dilakukan terhadap Allah dan Rasul-Nya. Menolak ketetapan dan hukum yang ditentukan Allah dan Rasul-Nya merupakan perilaku yang buruk, keras hati, serta tidak sesuai dengan sikap yang diajarkan Islam. Ketaatan, keridhaan, dan keikhlasan Zainab merefleksikan kekuatan iman dan relasinya yang baik dengan Allah.
…Zainab telah memberikan teladan terbaik dalam melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya. Demikian, seharusnya sikap yang wajib dilakukan terhadap Allah dan Rasul-Nya...

Menjaga Lisan dari Kesalahan

Setelah berpisah dengan Zaid, Zainab kemudian dinikahi oleh Rasulullah. Dengan demikian, dia menempati kedudukan mulia, karena menjadi bagian dari Ummahatul Mukminin. Bahkan, Aisyah pernah berkata, “Tidak ada seorang pun dari istri-istri Nabi yang kedudukannya menyamaiku di sisi beliau selain Zainab.”
Sekalipun tampak ada persaingan antara Zainab dan Aisyah dalam mendapatkan kasih sayang Rasulullah, namun Zainab tetap membela Aisyah pada peristiwa tuduhan kebohongan (haditsul-ifki). Aisyah berkata, “Tidak ada seorang pun dari istri-istri Nabi yang kedudukannya menyamaiku di sisi beliau selain Zainab. Zainab telah dilindungi Allah dalam agama, sehingga dia tidak mengatakan kecuali yang baik.
Dalam suatu riwayat dari Aisyah, dia berkata, “Rasulullah bertanya kepada Zainab binti Jahsy tentang masalahku, dan beliau berkata kepada Zainab, “Apa yang engkau ketahui atau bagaimana pendapatmu?” Dia menjawab, “Wahai Rasulullah, aku melindungi pendengaranku dan penglihatanku. Demi Allah, aku tidak mengetahui kecuali yang baik.” Aisyah berkata, “Dialah yang menyamaiku dari istri-istri Nabi, maka Allah melindunginya dengan sikap wara’.”
Memang Allah telah melindunginya dan menjaga lisannya dari berkomentar  buruk tentang Aisyah. Sikap ini merupakan sikap patriotik yang sungguh luar biasa. Kendati antara Aisyah dan Zainab seakan-akan terselip persaingan dalam mendapatkan kasih sayang Rasulullah, namun Zainab dengan besar hati membela madunya. Dia tidak menggunakan kesempatan itu untuk berkomentar tentang kehormatan Aisyah, dan tidak pula ada keinginan untuk menjelek-jelekkannya. Hendaknya muslimah belajar darinya bagaimana seharusnya menjalin hubungan dengan sesamanya.
…Zainab tidak memiliki kedengkian. Hendaknya muslimah belajar darinya bagaimana seharusnya menjalin hubungan dengan sesamanya..
Zainab tidak memiliki kedengkian kepada Aisyah. Islam telah mengajarkan kepada kita untuk toleran. Dengan kata lain, hubungan dengan sesama harus dibangun di atas dasar cinta, hormat, kasih sayang, dan keikhlasan. Dengan demikian, kehidupan akan berjalan sesuai dengan yang diridhai Allah dan Rasulullah.

Berinfak di Jalan Allah

Setelah Rasulullah wafat, Zainab konsisten untuk tetap tinggal di rumahnya untuk beribadah kepada Allah. Dia mengalami masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Khalifah Umar bin Al-Khatthab., Umar kerap memberikan tunjangan hidup kepada setiap istri Rasulullah sebanyak dua belas ribu Dirham.
Ketika Ummul Mukminin Zainab menerima tunjangan itu dari Umar, dia tidak menyisakan satu Dirham pun untuk dirinya. Dia menginfakkannya secara keseluruhan kepada kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin. Suatu ketika Umar bin Al-Khatthab mengirimkan kepadanya harta dalam jumlah banyak. Zainab lalu berkata, “Semoga Allah mengampuni Umar. Ummahatul Mukminin selain aku, lebih dermawan dalam membagi-bagikan harta ini.” Dikatakan kepadanya, “Semua harta ini untukmu.”
Zainab kemudian berkata, “Mahasuci Allah Yang Mahaagung.” Dia lalu menutupi harta itu dengan sebuah kain. Dia berkata, “Bungkuslah dengan kain.” Dia lalu menyuruh Barzah binti Rafi’, sembari berkata, “Wahai Barzah, masukkan tanganmu, lalu ambillah segenggam darinya dan bawalah kepada Fulan, kemudian kepada Bani Fulan.”
Zainab kemudian menyebutkan orang-orang dari kerabatnya, anak-anak yatim yang dikenalnya, dan orang-orang miskin. Barzah binti Rafi’ berkata, “Semoga Allah mengampuni dosamu, wahai Ummul Mukminin. Demi Allah sesungguhnya kita memiliki hak dalam dirham-dirham itu.” Zainab berkata, “Apa yang ada di bawah kain itu adalah milik kalian.”
Barzah berkata, “Kami lalu menghitung harta itu dan kami mendapatkannya sejumlah 1285 Dirham.” Zainab kemudian mengangkat tangannya ke langit dan berkata, “Ya Allah, semoga aku tidak lagi mendapatkan pemberian Umar setelah tahun ini.” Allah mengabulkan doa kezuhudannya, dan dia pun wafat pada tahun itu.
…Zainab dikenal sebagai wanita yang mulia, dermawan, dan selalu berlomba-lomba dalam kebaikan. Keagungan sikapnya mengindikasikan kekuatan iman dan hubungannya dengan Allah…
Demikianlah, kita menyaksikan sosok Zainab yang melihat harta sebagai fitnah. Dia dikenal sebagai wanita yang mulia, dermawan, dan selalu berlomba-lomba dalam kebaikan. Dia juga menjalin hubungan baik dengan para kerabat dan sanak keluarganya. Alangkah agung sikapnya dalam kehidupan. Hal itu mengindikasikan kekuatan iman dan hubungannya dengan Allah. [ganna pryadha/voa-islam.com]

Nusaibah binti Ka'ab: Srikandi Penolong Rasulullah


Di sekeliling Rasulullah SAW terdapat terdapat para lelaki dan wanita (baca: para shahabat dan shahabiyah) dengan keimanan dan konsistensi tiada bandingannya. Mereka adalah orang-orang yang berani, dermawan, santun, dan mengasihi orang lain.

Tak terhitung lagi banyaknya literatur sejarah yang acapkali memuji kontribusi para sahabat Rasulullah SAW, namun penting juga rasanya memeras tenaga untuk menelisik informasi yang ada tentang kontribusi para shahabiyah (sahabat wanita) Rasulullah. Di antara sekian banyak dari mereka, salah satunya adalah Nusaibah binti Ka’ab r.a. yang –bersama keluarganya—dikenal sebagai sosok yang humanis dan sering berderma. 

Di berbagai kitab hadits dan sirah (sejarah), Nusaibah dikenal dengan julukan ‘Ummu Imarah.’ Setelah mendengar Islam dan mengetahuinya, wanita yang memeluk Islam pada permulaan Islam muncul ini ikut pergi bersama kaum lelaki dari Madinah ke Makkah untuk bergabung dengan komunitas muslim di bawah bimbingan Nabi Muhammad.
...Nusaibah menjadi salah satu shahabiyah terkemuka yang disegani banyak orang, karena superioritasnya, terutama keberanian ketika membela Rasulullah pada Perang Uhud...
Nusaibah kemudian menjadi salah satu shahabiyah terkemuka yang disegani banyak orang. Hal ini dikarenakan superioritasnya, terutama keberanian yang didemonstrasikannya ketika membela Rasulullah pada Perang Uhud. Ketika itu, pada perang tersebut dia bergabung dengan pasukan Islam untuk mengemban tugas penting dalam bidang humanitarian. Bersama para wanita lainnya, Nusaibah ikut memasok air kepada para prajurit muslim dan mengobati mereka yang terluka.

Sejatinya, sungguh sangat tidak biasa bagi seorang wanita untuk ikut berpartisipasi di medan perang. Namun mereka memiliki peran penting dalam mengerahkan pasukan, memacu semangat mereka dengan senandung jihad, memuaskan dahaga para prajurit yang kehausan setiap kali cuaca panas menyengat, dan yang terpenting adalah mengobati para prajurit terluka.

Kita dapat mengetahui keberanian Nusaibah pada Perang Uhud dikarenakan pada perang tersebut banyak hal-hal yang tidak berjalan mulus. Pada prosesnya, nyawa Nabi Muhammad Saw. pun berada dalam bahaya. Meski tidak dapat disebutkan peristiwa-peristiwa detil pada perang tersebut, tapi penting untuk menyebutkan bahwa ketika pasukan pemanah di bawah komando Abdullah bin Jubair mengabaikan instruksi Rasulullah dan meninggalkan pos mereka, seketika itu juga pasukan musuh di bawah komando Khalid bin Al-Walid merangsek naik menempati pos mereka.

Dalam sebuah hadits shahih dinyatakan bahwa dalam perang tersebut sedikitnya 70 sahabat terluka dan banyak lainnya yang mati syahid.
...Ketika melihat Rasulullah menangkis berbagai serangan musuh sendirian, Nusaibah segera mempersenjatai dirinya dan membentuk sebuah formasi pertahanan untuk melindungi Rasulullah...
Ketika melihat Rasulullah menangkis berbagai serangan musuh sendirian, lalu Nusaibah segera mempersenjatai dirinya dan bergabung dengan yang lainnya membentuk sebuah formasi pertahanan untuk melindungi Rasulullah. Berbagai buku sejarah mencatat bahwa ketika itu Nusaibah berperang penuh keberanian dan tidak menghiraukan dirinya dalam membela beliau.

Meski akhirnya kaum muslimin mendapatkan kemenangan di Perang Uhud, sejatinya perang tersebut mencatat sejumlah pelajaran penting yang harus dicamkan kaum muslimin. Di sejumlah pelajaran penting tersebut terselip sebuah nota peranan penting Nusaibah dan keluarganya yang telah berjibaku bersusah payah membela Nabi Muhammad.

Dalam rangka membela Nabi Muhammad, Nusaibah sendiri menderita luka-luka, ada sekitar 12 luka di tubuhnya dengan luka di lehernya yang cukup parah. Namun hebatnya dia tidak pernah mengeluh, mengadu, atau bersedih. Dia justru memohon kepada Rasulullah agar mendoakan diri dan keluarganya agar kelak bisa bergabung bersama beliau di surga. Dan Rasul pun mengabulkan permintaannya.

Dalam sejarah Islam, selain disebut-sebut sebagai salah satu sahabat pionir dan berani, Nusaibah juga dinyatakan sebagai seorang wanita yang memiliki kesabaran luar biasa dan selalu mendahulukan kepentingan orang lain dari dirinya sendiri. Salah seorang putranya kemudian syahid di pertempuran selanjutnya. Nusaibah menerimanya dengan penuh keyakinan bahwa putranya mendapatkan kedudukan tinggi di sisi Allah, dan menerima berita kematian itu dengan penuh kemuliaan serta kebanggaan.

Tidak hanya Perang Uhud, Nusaibah bersama suami dan putra-putranya ikut dalam, Peristiwa Hudaibiyah, Perang Khaibar, Perang Hunain dan Perang Yamamah. Dalam berbagai pertempuran itu, Nusaibah tidak hanya membantu mengurus logistik dan merawat orang-orang yang terluka. Lebih dari itu, dia juga terjun ke medan perang dan mengangkat senjata. Bahkan pada Perang Yamamah, selain mendapat sebelas luka, tangannya juga terpenggal oleh musuh.

Setelah Rasulullah SAW meninggal dunia, sebagian kaum muslimin kembali murtad dan enggan berzakat. Abu Bakar Ash-Shiddiq yang menjadi khalifah pada waktu itu segera membentuk pasukan untuk memerangi mereka. Abu Bakar mengirim surat kepada Musailamah Al-Kadzdzab dan menunjuk Habib, putranya Nusaibah, sebagai utusannya.
...Pada Perang Yamamah, Nusaibah dan putranya Abdullah ikut memerangi Musailamah sampai dia tewas di tangan mereka berdua...
Musailamah memerintahkan Habib untuk menyatakan bahwa dia adalah utusan Allah, namun Habib menolaknya dengan alasan bahwa dia tuli. Musailamah yang merasa marah akhirnya menyiksa Habib dengan memotong anggota tubuhnya satu persatu sampai syahid. Meninggalnya Habib meninggalkan luka yang dalam di hati Nusaibah. Pada Perang Yamamah, Nusaibah dan putranya Abdullah ikut memerangi Musailamah sampai dia tewas di tangan mereka berdua. Beberapa tahun setelah peristiwa Perang Yamamah, Nusaibah meninggal dunia. Yassarallahu hisabaki wa yammanallahu kitabaki! [ganna/voa-islam.com/ dari berbagai sumber]

Kisah Cinta Romantis Ali dan Fatimah



Ada rahasia terdalam di hati Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun. Fathimah. Karib kecilnya, puteri tersayang dari Sang Nabi yang adalah sepupunya itu, sungguh memesonanya. Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya. Lihatlah gadis itu pada suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi perut unta. Ia bersihkan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta. Ia bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya.

Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis. Muhammad ibn 'Abdullah Sang Tepercaya tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya! Maka gadis cilik itu bangkit. Gagah ia berjalan menuju Ka'bah. Di sana, para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam. Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali. Mengagumkan!

Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta. Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan. Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi. Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah. Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan; Abu Bakr Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu

"Allah mengujiku rupanya", begitu batin ’Ali.

Ia merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakar. Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakar lebih utama, mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti 'Ali, namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan RasulNya tak tertandingi. Lihatlah bagaimana Abu Bakar menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah sementara 'Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya.

Lihatlah juga bagaimana Abu Bakr berda’wah. Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakar; 'Utsman, 'Abdurrahman ibn 'Auf, Thalhah, Zubair, Sa'd ibn Abi Waqqash, Mush'ab.. Ini yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti 'Ali.

Lihatlah berapa banyak budak Muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakar; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, 'Abdullah ibn Mas'ud.. Dan siapa budak yang dibebaskan 'Ali? Dari sisi finansial, Abu Bakar sang saudagar, insya Allah lebih bisa membahagiakan Fathimah.

'Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin. "Inilah persaudaraan dan cinta", gumam 'Ali.

"Aku mengutamakan Abu Bakar atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku."

Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan. Ia adalah keberanian, atau pengorbanan

Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu.

Lamaran Abu Bakr ditolak. Dan ’Ali terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri. Ah, ujian itu rupanya belum berakhir. Setelah Abu Bakr mundur, datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum Muslimin berani tegak mengangkat muka, seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut dan musuh- musuh Allah bertekuk lutut.

'Umar ibn Al Khaththab. Ya, Al Faruq, sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar Fathimah. 'Umar memang masuk Islam belakangan, sekitar 3 tahun setelah 'Ali dan Abu Bakar. Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya? Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman? Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya 'Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin? Dan lebih dari itu, 'Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata, "Aku datang bersama Abu Bakar dan 'Umar, aku keluar bersama Abu Bakr dan 'Umar, aku masuk bersama Abu Bakr dan 'Umar.."

Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah. Lalu coba bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana 'Umar melakukannya. 'Ali menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak menemukan beliau Shallallaahu 'Alaihi wa Sallam. Maka ia hanya berani berjalan di kelam malam. Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir. Menanti dan bersembunyi.

'Umar telah berangkat sebelumnya. Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka'bah. "Wahai Quraisy", katanya. "Hari ini putera Al Khaththab akan berhijrah. Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang 'Umar di balik bukit ini!" 'Umar adalah lelaki pemberani. 'Ali, sekali lagi sadar. Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah. Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah! Tidak. 'Umar jauh lebih layak. Dan 'Ali ridha.

Cinta tak pernah meminta untuk menanti
Ia mengambil kesempatan
Itulah keberanian
Atau mempersilakan
Yang ini pengorbanan

Maka 'Ali bingung ketika kabar itu meruyak. Lamaran 'Umar juga ditolak.

Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi? Yang seperti 'Utsman sang miliarderkah yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah? Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi'kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah? Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri.

Di antara Muhajirin hanya 'Abdurrahman ibn 'Auf yang setara dengan mereka. Atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka? Sa'd ibn Mu'adz kah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu? Atau Sa’d ibn 'Ubaidah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?

"Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?", kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunan. "Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi.. "

"Aku?", tanyanya tak yakin.

"Ya. Engkau wahai saudaraku!"

"Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?"

"Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!"

'Ali pun menghadap Sang Nabi. Maka dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk menikahi Fathimah. Ya, menikahi. Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya. Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya. Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap? Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang.

"Engkau pemuda sejati wahai 'Ali!", begitu nuraninya mengingatkan. Pemuda yang siap bertanggungjawab atas cintanya. Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan- pilihannya. Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya. Lamarannya berjawab, "Ahlan wa sahlan!" Kata itu meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi.

Dan ia pun bingung. Apa maksudnya? Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan. Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab. Mungkin tidak sekarang. Tapi ia siap ditolak. Itu resiko. Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab. Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan. Ah, itu menyakitkan.

"Bagaimana jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?"

"Entahlah.."

"Apa maksudmu?"

"Menurut kalian apakah 'Ahlan wa Sahlan' berarti sebuah jawaban!"

"Dasar tolol! Tolol!", kata mereka,

"Eh, maaf kawan.. Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua! Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya !"

Dan 'Ali pun menikahi Fathimah. Dengan menggadaikan baju besinya. Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan ke kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya. Itu hutang.

Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakr, 'Umar, dan Fathimah. Dengan keberanian untuk menikah. Sekarang. Bukan janji-janji dan nanti-nanti.

'Ali adalah gentleman sejati. Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel, "Laa fatan illa 'Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!" Inilah jalan cinta para pejuang. Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggung jawab. Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti. Seperti 'Ali. Ia mempersilakan. Atau mengambil kesempatan. Yang pertama adalah pengorbanan. Yang kedua adalah keberanian.

Dan ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi, dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa suatu hari (setelah mereka menikah) Fathimah berkata kepada 'Ali, "Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali jatuh cinta pada seorang pemuda"

'Ali terkejut dan berkata, "kalau begitu mengapa engkau mau manikah denganku? dan Siapakah pemuda itu?"

Sambil tersenyum Fathimah berkata, "Ya, karena pemuda itu adalah Dirimu" ini merupakan sisi ROMANTIS dari hubungan mereka berdua.

Kemudian Nabi saw bersabda: "Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla memerintahkan aku untuk menikahkan Fatimah puteri Khadijah dengan Ali bin Abi Thalib, maka saksikanlah sesungguhnya aku telah menikahkannya dengan maskawin empat ratus Fidhdhah (dalam nilai perak), dan Ali ridha (menerima) mahar tersebut."

Kemudian Rasulullah saw. mendoakan keduanya:

"Semoga Allah mengumpulkan kesempurnaan kalian berdua, membahagiakan kesungguhan kalian berdua, memberkahi kalian berdua, dan mengeluarkan dari kalian berdua kebajikan yang banyak." (kitab Ar-Riyadh An-Nadhrah 2:183, bab4)

Pengantin Bidadari, Kisah Cinta Seorang Syuhada



Pada masa Rasulullah, di Madinah, tinggallah seorang pemuda bernama Zulebid. Dikenal sebagai pemuda yang baik di kalangan para sahabat. Juga dalam hal ibadahnya termasuk orang yang rajin dan taat.

Dari sudut ekonomi dan finansial, ia pun tergolong berkecukupan. Sebagai seorang yang telah dianggap mampu, ia hendak melaksanakan sunnah Rasul yaitu menikah. Beberapa kali ia meminang gadis di kota itu, namun selalu ditolak oleh pihak orang tua ataupun sang gadis dengan berbagai alasan.

Akhirnya pada suatu pagi, ia menumpahkan kegalauan tersebut kepada sahabat yang dekat dengan Rasulullah.

“Coba engkau temui langsung Baginda Nabi, semoga engkau mendapatkan jalan keluar yang terbaik bagimu”, nasihat mereka.

Zulebid kemudian mengutarakan isi hatinya kepada Baginda Nabi.

Sambil tersenyum beliau berkata:
“Maukah engkau saya nikahkan dengan putri si Fulan?”

“Seandainya itu adalah saran darimu, saya terima. Ya Rasulullah, putri si Fulan itu terkenal akan kecantikan dan kesholihannya, dan hingga kini ayahnya selalu menolak lamaran dari siapapun.

“Katakanlah aku yang mengutusmu”, sahut Baginda Nabi.
“Baiklah ya Rasul”, dan Zulebid segera bergegas bersiap dan pergi ke rumah si Fulan.

Sesampai di rumah Fulan, Zulebid disambut sendiri oleh Fulan
“Ada keperluan apakah hingga saudara datang ke rumah saya?” Tanya Fulan.

“Rasulullah saw yang mengutus saya ke sini, saya hendak meminang putrimu si A.” Jawab Zulebid sedikit gugup.

“Wahai anak muda, tunggulah sebentar, akan saya tanyakan dulu kepada putriku.”

Fulan menemui putrinya dan bertanya, “bagaimana pendapatmu wahai putriku?”

Jawab putrinya, “Ayah, jika memang ia datang karena diutus oleh Rasulullah saw, maka terimalah lamarannya, dan aku akan ikhlas menjadi istrinya.”

Akhirnya pagi itu juga, pernikahan diselenggarakan dengan sederhana. Zulebid kemudian memboyong istrinya ke rumahnya.
Sambil memandangi wajah istrinya, ia berkata,” duhai Anda yang di wajahnya terlukiskan kecantikan bidadari, apakah ini yang engkau idamkan selama ini? Bahagiakah engkau dengan memilihku menjadi suamimu?”

Jawab istrinya, ” Engkau adalah lelaki pilihan rasul yang datang meminangku. Tentu Allah telah menakdirkan yang terbaik darimu untukku. Tak ada kebahagiaan selain menanti tibanya malam yang dinantikan para pengantin.”

Zulebid tersenyum. Dipandanginya wajah indah itu ketika kemudian terdengar pintu rumah diketuk. Segera ia bangkit dan membuka pintu. Seorang laki-laki mengabarkan bahwa ada panggilan untuk berkumpul di masjid, panggilan berjihad dalam perang.

Zulebid masuk kembali ke rumah dan menemui istrinya.

“Duhai istriku yang senyumannya menancap hingga ke relung batinku, demikian besar tumbuhnya cintaku kepadamu, namun panggilan Allah untuk berjihad melebihi semua kecintaanku itu. Aku mohon keridhoanmu sebelum keberangkatanku ke medan perang. Kiranya Allah mengetahui semua arah jalan hidup kita ini.”

Istrinya menyahut, “Pergilah suamiku, betapa besar pula bertumbuhnya kecintaanku kepadamu, namun hak Yang Maha Adil lebih besar kepemilikannya terhadapmu. Doa dan ridhoku menyertaimu”

Zulebid lalu bersiap dan bergabung bersama tentara muslim menuju ke medan perang. Gagah berani ia mengayunkan pedangnya, berkelebat dan berdesing hingga beberapa orang musuh pun tewas ditangannya. Ia bertarung merangsek terus maju sambil senantiasa mengumandangkan kalimat Tauhi…ketika sebuah anak panah dari arah depan tak sempat dihindarinya. Menancap tepat di dadanya. Zulebid terjatuh, berusaha menghindari anak panah lainnya yang berseliweran di udara. Ia merasa dadanya mulai sesak, nafasnya tak beraturan, pedangnya pun mulai terkulai terlepas dari tangannya.

Sambil bersandar di antara tumpukan korban, ia merasa panggilan Allah sudah begitu dekat. Terbayang wajah kedua orangtuanya yang begitu dikasihinya. Teringat akan masa kecilnya bersama-sama saudaranya. Berlari-larian bersama teman sepermainannya.

Berganti bayangan wajah Rasulullah yang begitu dihormati, dijunjung dan dikaguminya. Hingga akhirnya bayangan rupawan istrinya. Istrinya yang baru dinikahinya pagi tadi. Senyum yang begitu manis menyertainya tatkala ia berpamitan. Wajah cantik itu demikian sejuk memandangnya sambil mendoakannya. Detik demi detik, syahadat pun terucapkan dari bibir Zulebid. Perlahan-lahan matanya mulai memejam, senyum menghiasinya … Zulebid pergi menghadap Ilahi, gugur sebagai syuhada.

Rasulullah dan para sahabat mengumpulkan syuhada yang gugur dalam perang. Di antara para mujahid tersebut terdapatlah tubuh Zulebid yang tengah bersandar di tumpukan mayat musuh.

Akhirnya dikuburkanlah jenazah zulebid di suatu tempat. Berdampingan dengan para syuhada lain.

Tanpa dimandikan …
Tanpa dikafankan …

Tanah terakhir ditutupkan ke atas makam Zulebid.

Rasulullah terpekur di samping pusara tersebut.
Para sahabat terdiam membisu.

Sejenak kemudian terdengar suara Rasulullah seperti menahan isak tangis. Air mata berlinang di dari pelupuk mata beliau
Lalu beberapa waktu kemudian beliau seolah-olah menengadah ke atas sambil tersenyum.

Wajah beliau berubah menjadi cerah. Belum hilang keheranan shahabat, tiba-tiba Rasulullah menolehkan pandangannya ke samping seraya menutupkan tangan menghalangi arah pandangan mata beliau.

Akhirnya keadaan kembali seperti semula ..
Para shahabat lalu bertanya-tanya, ada apa dengan Rasulullah.
“Wahai Rasulullah, mengapa di pusara Zulebid engkau menangis?”

Jawab Rasul, “Aku menangis karena mengingat Zulebid. Oo ..
-Zulebid, pagi tadi engaku datang kepadaku minta restuku untuk menikah dan engkau pun menikah hari ini juga. Ini hari bahagia.Seharusnya saat ini Engkau sedang menantikan malam Zafaf, malam yang ditunggu oleh para pengantin.”

“Lalu mengapa kemudian Engkau menengadah dan tersenyum?” Tanya sahabat lagi.

” Aku menengadah karena kulihat beberapa bidadari turun dari langit dan udara menjadi wangi semerbak dan aku tersenyum karena mereka datang hendak menjemput Zulebid,” Jawab Rasulullah.

“Dan lalu mengapa kemudian Engkau memalingkan pandangannya dan menoleh ke samping?” Tanya mereka lagi.

“Aku mengalihkan pandangan menghindar karena sebelumnya kulihat, saking banyaknya bidadari yang menjemput Zulebid, beberapa diantaranya berebut memegangi tangan dan kaki Zulebid. Hingga dari salah satu gaun dari bidadari tersebut ada yang sedikit tersingkap betisnya.”

Di rumah, istri Zulebid menanti sang suami yang tak kunjung kembali. Ketika terdengar kabar suaminya telah menghadap sang ilahi Rabbi, Pencipta segala Maha Karya.

Malam menjelang …
Terlelap ia, sejenak berada dalam keadaan setengah mimpi dan dan nyata ..

Lamat-lamat ia seperti melihat Zulebid datang dari kejauhan .. Tersenyum, namun wajahnya menyiratkan kesedihan pula ..

Terdengar Zulebid berkata, “Istriku, aku baik-baik saja. Aku menunggumu disini. Engkaulah bidadari sejatiku. Semua bidadari disini pabila aku menyebut namamu akan menggumamkan cemburu padamu…. Dan kan kubiarkan engkau yang tercantik di hatiku.”

Istri Zulebid, terdiam.
Matanya basah …
Ada sesuatu yang menggenang disana ..

Seperti tak lepas ia mengingat acara pernikahan tadi pagi ..
Dan bayangan suaminya yang baru saja hadir ..
Ia menggerakkan bibirnya ..
“Suamiku, aku mencintaimu …
Dan dengan semua ketentuan Allah ini bagi kita ..
Aku ikhlas …..”

Dan,..
Akan kemanakah kumbang terbang ..
Pada siapa rindu mendendam ..
Kekasih yang terkasih ..
Pencinta dan yang dicinta ..
Semua berurai air mata ..
Sedih, ataukah bahagia …..?

Wanita dengan Mahar Paling Mulia : Ummu Sulaim binti Malhan ra



Beliau bernama Rumaisha’, Ummu Sulaim binti Malhan bin Khalid bin Zaid bin Haram bin Jundub bin Amir bin Ghanam bin ‘Ady bin Najjar al-Anshariyyah al-Khazrajiyyah.
Beliau adalah seorang wanita yang memiliki sifat keibuan dan cantik, dirinya dihiasi pula dengan ketabahan, kebijaksanan, lurus pemikirannya, dan dihiasi pula dengan kecerdasan berfikir dan kefasihan serta berakhlak mulia, sehingga nantinya cerita yang baik ditujukan kepada beliau dan setiap lisan memuji atasnya. Karena beliau memiliki sifat yang agung tersebut sehingga mendorong putra pamannya yang bernama Malik bin Nadlar untuk segera menikahinya. Dari hasil pernikahannya ini lahirlah Anas bin Malik, salah seorang shahabat yang agung.
Tatkala cahaya nubuwwah mulai terbit dan dakwah tauhid muncul sehingga menyebabkan orang-orang yang berakal sehat dan memiliki fitrah yang lurus untuk bersegera masuk Islam.
Ummu Sulaim termasuk golongan pertama yang masuk Islam awal-awal dari golongan Anshar. Beliau tidak mempedulikan segala kemungkinan yang akan menimpanya didalam masyarakat jahiliyah penyembah berhala yang telah beliau buang tanpa ragu.
Adapun halangan pertama yang harus beliau hadapi adalah kemarahan Malik suaminya yang baru saja pulang dari bepergian dan mendapati istrinya telah masuk Islam. Malik berkata dengan kemarahan yang memuncak, “Apakah engkau murtad dari agamamu?”. Maka dengan penuh yakin dan tegar beliau menjawab: ”Tidak, bahkan aku telah beriman”.
Suatu ketika beliau menuntun Anas (putra beliau) sembari mengatakan: “Katakanlah La ilaha illallah.” (Tidak ada ilah yang haq kecuali Allah). Katakanlah, Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah.” (aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah) kemudian Anas mau menirukannya. Akan tetapi ayah Anas mengatakan, “Janganlah engkau merusak anakku”. Maka beliau menjawab: “Aku tidak merusaknya akan tetapi aku mendidik dan memperbaikinya”.
Perasaan gengsi dengan dosa-dosa menyebabkan Malik bin Nadlar menentukan sikap terhadap istrinya yang –menurutnya- keras kepala dan tetap ngotot berpegang kepada akidah yang baru, maka Malik tidak memiliki alternatif lain selain memberi khabar kepada istrinya bahwa dia akan pergi dari rumah dan tidak akan kembali hingga istrinya mau kembali kepada agama nenek moyangnya.
Manakala Malik mendengar istrinya dengan tekad yang kuat karena teguh terhadap pendiriannya mengulang-ulang kalimat “Ashadu an la ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadan Rasulullah”, maka Malik pergi dari rumah dalam keadaan marah dan kemudian bertemu dengan musuh sehingga akhirnya dia dibunuh.
Ketika Ummu Sulaim mengetahui bahwa suaminya telah terbunuh, beliau tetap tabah mengatakan: “Aku tidak akan menyampih Anas sehingga dia sendiri yang memutusnya, dan aku tidak akan menikah sehingga Anas menyuruhku”.
Kemudian Ummu Anas menemui Rasulullah yang dicintai dengan rasa malu kemudian beliau mengajukan agar buah hatinya, Anas dijadikan pembantu oleh guru manusia yang mengajarkan segala kebaikan. Rasulullah menerimanya sehingga sejuklah pandangan Ummu Sulaim karenanya.
Kemudian orang-orang banyak membicarakan Anas bin Malik dan juga ibunya dengan penuh takjub dan bangga. Begitu pula Abu Thalhah mendengar kabar tersebut sehingga menjadikan hatinya cenderung cinta dan takjub. Kemudian dia beranikan diri melamar Ummu Sulaim dan menyediakan baginya mahar yang tinggi. Akan tetapi, tiba-tiba saja pikirannya menjadi kacau dan lisannya menjadi kelu tatkala Ummu Sulaim menolak dengan wibawa dan penuh percaya diri dengan berkata: “Sesungguhnya tidak pantas bagiku menikah dengan orang musyrik. Ketahuilah wahai Abu Thalhah bahwa tuhan-tuhan kalian adalah hasil pahatan orang dari keluarga fulan, dan sesungguhnya seandainya kalian mau membakarnya maka akan terbakarlah tuhan kalian”.
Abu Thalhah merasa sesak dadanya, kemudian dia berpaling sedangkan dirinya seolah-olah tidak percaya dengan apa yang telah dia lihat dan dia dengar. Akan tetapi cintanya yang tulus mendorong dia kembali pada hari berikutnya dengan membawa mahar yang lebih banyak, roti maupun susu dengan harapan Ummu Sulaim akan luluh dan menerimanya.
Akan tetapi Ummu Sulaim adalah seorang da`iyah yang cerdik yang tatkala melihat dunia menari-nari dihadapannya berupa harta, kedudukan dan laki-laki yang masih muda, dia merasakan bahwa keterikatan hatinya dengan Islam lebih kuat dari pada seluruh kenikmatan dunia. Beliau berkata dengan sopan: “Orang seperti anda memang tidak pantas ditolak, wahai Abu Thalhah, hanya saja engkau adalah orang kafir sedangkan saya adalah seorang muslimah sehingga tidak baik bagiku menerima lamarnmu”. Abu Thalhah bertanya: “lantas apa yang anda inginkan?”, beliau balik bertanya: “Apa yang saya inginkan?”. Abu Thalhah bertanya: “apakah anda menginginkan emas atau pera?”. Ummu Sulaim berkata: “Sesungguhnya aku tidak menginginkan emas ataupun perak akan tetapi saya menginginkan agar anda masuk Islam”. “Kepada siapa saya harus datang untuk masuk Islam?”, tanya Abu Thalhah. Beliau berkata: “Datanglah kepada Rasulullah untuk itu!”. Maka pergilah Abu Thalhah untuk menemui Nabi yang tatkala itu sedang duduk-duduk bersama para sahabat. Demi melihat kedatangan Abu Thalhah, Rasulullah bersabda:
“Telah datang kepada kaliaan Abu Thalhah sedang sudah tampak cahaya Islam dikedua matanya”.
Selanjutnya Abu Thalhah menceritakan kepada Nabi tentang apa yang dikatakan oleh Ummu Sulaim, maka da menikahi Ummu Sulaim dengan mahar keislamannya.
Dalam riwayat lain dikatakan bahwa Ummu sulaim berkata:
“Demi Allah! orang yang seperti anda tidak pantas untuk ditolak, hannya saja engkau adalah orang kafir sedangkan aku adalah seorang muslimah sehingga tidak halal untuk menikah denganmu. Jika kamu mau masuk Islam maka itulah mahar bagiku dan aku tidak meminta yang selain dari itu”.
Sungguh ungkapan tersebut mampu menyentuh perasaan yang paling dalam dan mengisi hati Abu Thalhah, sungguh Ummu Sulaim telah bercokol dihatinya secara sempurna, dia bukanlah seorang wanita yang suka bermain-main dan takluk dengan rayuan-rayuan kemewahan, sesungguhnya dia adalah wanita cerdas, dan apakah dia akan mendapatkan yang lebih baik darinya untuk diperistri, atau ibu bagi anak-anaknya?”.
Tanpa terAsa lisan Abu Thalhah mengulang-ulang: “Aku berada diatas apa yang kamu yakini, aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang haq kecuali Allah dan aku bersaksi Muhammad adalah utusan Allah”.
Ummu Sulaim lalu menoleh kepada putranya, Anas dan beliau berkata dengan suka cita karena hidayah Allah yang diberikan kepada Abu Thalhah melalui tangannya: “Wahai Anas! Nikahkanlah aku dengan Abu thalhah”. Kemudian beliaupun dinikahkan dengan Islam sebagai mahar.
Oleh karena itulah Tsabit meriwayatkan hadits dari Anas :
“Aku belum pernah mendengar seorang wanitapun yang paling mulia maharnya dari Ummu Sulaim karena maharnya adalah Islam”.
Ummu Sulaim hidup bersama Abu Thalhah dengan kehidupan suami-istri yang diisi dengan nilai-nilai Islam yang menaungi bagi kehidupan suami istri, dengan kehidupan yang tenang dan penuh kebahagiaan.
Ummu Sulaim adalah profil seorang istri yang menunaikan hak-hak suami isteri dengan sebaik-baiknya, sebagaimana juga contoh terbaik sebagai seorang ibu, seorang pendidik yang utama dan seorang da`iyah.
Begitulah Abu Thalhah mulai memasuki madrasah imaniyah melalui istrinya yang utama yakni Ummu Sulaim sehingga pada gilirannya beliau minum dari mata air nubuwwah hingga menjadi setara dalam hal kemuliaan dengan Ummu Sulaim.
Marilah kita dengarkan penuturan Anas bin Malik yang menceritakan kepada kita bagaimana perlakuan Abu Thalhah terhadap kitabullah dan komitmennya terhadap al-Qur`an sebagai landasan dan kepribadian. Anas bin Malik berkata :
“Abu Thalhah adalah orang yang paling kaya di kalangan Anshar Madinah, adapun harta yang paling disukainya adalah kebun yang berada di masjid, yang biasanya Rasulullah masuk ke dalamnya dan minum air jernih didalamnya. Tatkala turun ayat :
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu nafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.” (Q,.s. آli’ Imran: 92).
Seketika Abu Thalhah berdiri menghadap Rasulullah dan berkata: “Sesungguhnya Allah telah berfirman di dalam kitab-Nya (yang artinya), “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai.” Dan sesungguhnya harta yang paling aku sukai adalah kebunku, untuk itu aku sedekahkan ia untuk Allah dengan harapan mendapatkan kebaikan dan simpanan di sisi Allah, maka pergunakanlah sesuka kamu, wahai Rasulullah”.
Rasulullah bersabda :
“Bagus …..bagus.. itulah harta yang menguntungkan…. Itulah harta yang paling menguntungkan…..aku telah mendengar apa yang kamu katakan dan aku memutuskan agar engkau sedekahkan kepada kerabat-kerabatmu”.
Maka Abu Thalhah membagi-bagikannya kepada sanak kerabat dan anak-anak dari pamannya.
Allah memuliakan kedua suami-istri ini dengan seorang anak laki-laki sehingga keduanya sangat bergembira dan anak tersebut menjadi penyejuk pandangan bagi keduanya dengan pergaulannya dan tingkah lakunya. Anak tersebut diberi nama Abu ‘Umair. Suatu ketika anak tersebut bermain-main dengan seekor burung lalu burung tersebut mati. Hal itu menjadikan anak tersebut bersedih dan menangis. Pada waktu itu, Rasulullah melewati dirinya maka beliau berkata kepada anak tersebut untuk menghibur dan bermain dengannya: “Wahai Abu Umair! Apa yang dilakukan oleh anak burung pipit itu?”.
Allah berkehendak untuk menguji keduanya dengan keduanya dengan seorang anak yang cakap dan dicintai, suatu ketika Abu Umair sakit sehingga kedua orang tuanya disibukkan olehnya. Sudah menjadi kebiasaan bagi ayahnya apabila kembali dari pasar, pertama kali yang dia kerjakan setelah mengucapkan salam adalah bertanya tentang kesehatan anaknya, dan beliau belum merasa tenang sebelum melihat anaknya.
Suatu ketika Abu Thalhah keluar ke masjid dan bersamaan dengan itu anaknya meninggal. Maka ibu Mu`minah yang sabar ini menghadapi musibah tersebut dengan jiwa yang ridla dan baik. Sang ibu membaringkannya ditempat tidur sambil senantiasa mengulangi kalimat: “Inna lillahi wa inna ilahi raji`un”. Beliau berpesan kepada anggota keluarganya: “Janganlah kalian menceritakan kepada Abu Thalha hingga aku sendiri yang menceritakan kepadanya”.
Ketika Abu Thalhah kembali, Ummu Sulaim mengusap air mata kasih sayangnya, kemudian dengan bersemangat menyambut suaminya dan menjawab pertanyaannya seperti biasanya: “Apa yang dilakukan oleh anakku?”. Beliau menjawab: “dia dalam keadaan tenang”.
Abu Thalhah mengira bahwa anaknya sudah dalam keadaan sehat, sehingga Abu Thalhah bergembira dengan ketenangan dan kesehatannya, dan dia tidak mau mendekat karena khawatir mengganggu ketenangannya. Kemudian Ummu Sulaim mendekati beliau dan mempersiapkan malam baginya, lalu beliau makan dan minum sementara Ummu Sulaim bersolek dengan dandanan lebih cantik daripada hari-hari sebelumnya, beliau mengenakan baju yang paling bagus, berdandan dan memakai wangi-wangian, kemudian keduanyapun berbuat sebagai mana layaknya suami istri.
Tatkala Ummu Sulaim melihat bahwa suaminya sudah kenyang dan mencampurinya serta merasa tenang dengan keadaan anaknya maka beliau memuji Allah karena tidak membuat risau suaminya dan beliau biarkan suaminya terlelap dalam tidurnya.
Tatkala diakhir malam beliau berkata kepada suaminya: “Wahai Abu Thalhah! bagaimana pendapatmu seandainya suatu kaum menitipkan barangnya kepada suatu keluarga kemudian suatu ketika mereka mengambil titipannya tersebut, maka bolehkah bagi keluarga tersebut untuk menolaknya?”. Abu Thalhah menjawab: “Tentu saja tidak boleh”. Kemudian Ummu Sulaim berkata lagi: “Bagaimana pendapatmu jika keluarga tersebut berkeberatan tatkala titipannya diambil setelah dia sudah dapat memanfaatkannya?”. Abu Thalhah berkata: “Berarti mereka tidak adil”. Ummu Sulaim berkata: ”Sesunggguhnya anakmu titipan dari Allah dan Allah telah mengambilnya, maka tabahkanlah hatimu dengan meninggalnya anakmu”.
Abu Thalhah tidak kuasa menahan amarahnya, maka beliau berkata dengan marah: “kau biarkan aku dalam keadaan seperti ini baru kamu kabari tentang anakku?”.
Beliau ulang-ulang kata-kata tersebut hingga beliau mengucapkan kalimat istirja` (Inna lillahi wa inna ilahi raji`un) lalu bertahmid kepada Allah sehingga berangsur-angsur jiwanya menjadi tenang.
Keesokan harinnya beliau pergi menghadap Rasulullah dan mengabarkan kapada Rasulullah tentang apa yang terjadi, kemudian Rasulullah bersabda:
“Semoga Allah memberkahi malam kalian berdua”.
Mulai hari itulah Ummu Sulaim mengandung seorang anak yang akhirnya diberi nama Abdullah. Tatkala Ummu Sulaim melahirkan, beliau utus Anas bin Malik untuk membawanya kepada Rasulullah selanjutnya Anas berkata: “Wahai Rasulullah, bahwasanya Ummu Sulaim melahirkan tadi malam”. Maka Rasulullah mengunyah kurma dan mentahnik bayi tersebut (menggosokan kurma yang telah dikunyah ke langit-langit mulut si bayi). Anas berkata: “Berilah nama baginya, wahai Rasulullah!”. Beliau bersabda: “namanya Abdullah” .
Ubbabah, salah seorang rijal sanad berkata: “Aku melihat dia memiliki tujuh anak yang kesemuanya hafal al-Qur`an”.
Diantara kejadian yang mengesankan pada diri wanita yang utama dan juga suaminya yang mukmin adalah bahwa Allah menurunkan ayat tentang mereka berdua dimana umat manusia dapat beribadah dengan membacanya. Abu Hurairah berkata:
“Telah datang seorang laki-laki kepada Rasulullah dan berkata: “Sesungguhnya aku dalam keadaan lapar”. Maka Rasulullah menanyakan kepada salah satu istrinya tentang makanan yang ada dirumahnya, namun beliau menjawab: “Demi Dzat Yang mengutusmu dengan haq, aku tidak memiliki apa-apa kecuali hanya air, kemudian beliau bertanya kepada istri yang lain, namun jawabannya tidak berbeda. Seluruhnya menjawab dengan jawaban yang sama. Kemudian Rasulullah bersabda:
“Siapakah yang akan menjamu tamu ini, semoga Allah merahmatinya”.
Maka berdirilah salah seorang Anshar yang namanya Abu Thalhah seraya berkata: “Saya wahai Rasulullah”. Maka dia pergi bersama tamu tadi menuju rumahnya kemudian sahabat Anshar tersebut bertanya kepada istrinya (Ummu Sulaim): “Apakah kamu memiliki makanan?”. Istrinya menjawab: “Tidak punya melainkan makanan untuk anak-anak”. Abu Thalhah berkata: ”Berikanlah minuman kepada mereka dan tidurkanlah mereka. Nanti apabila tamu saya masuk maka akan saya perlihatkan bahwa saya ikut makan, apabila makanan sudah berada di tangan maka berdirilah. Mereka duduk-duduk dan tamu makan hidangan tersebut sementara kedua sumi-istri tersebut bermalam dalam keadaan tidak makan. Keesokan harinya keduanya datang kepada Rasulullah lalu Rasulullah bersabda: “Sungguh Allah takjub (atau tertawa) terhadap fulan dan fulanah”. Dalam riwayat lain, Rasulullah bersabda:
“Sungguh Allah takjub terhadap apa yang kalian berdua lakukan terhadap tamu kalian” .
Di akhir hadits disebutkan: “Maka turunlah ayat (artinya):
“Dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin) atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu).” (Q,.s. al-Hasyr :9).
Abu Thalhah tidak kuasa menahan rasa gembiranya, maka beliau bersegera memberikan khabar gembira tersebut kepada istrinya sehingga sejuklah pandangan matanya karena Allah menurunkan ayat tentang mereka dalam al-Qur`an yang senantiasa dibaca.
Ummu Sulaim tidak hanya cukup menunaikan tugasnya untuk mendakwahkan Islam dengan penjelasan saja, bahkan beliau antusias untuk turut andil dalam berjihad bersama pahlawan kaum muslimin. Tatkala perang Hunain tampak sekali sikap kepahlawanannya dalam memompa semangat pada dada mujahidin dan mengobati mereka yang luka. Bahkan beliau juga mempersiapkan diri untuk melawan dan menghadapi musuh yang akan menyerangnya. Diriwayatkan oleh Muslim di dalam shahihnya dan Ibnu Sa`ad di dalam Thabaqat dengan sanad yang shahih bahwa Ummu Sulaim membawa badik (pisau) pada perang Hunain kemudian Abu Thalhah berkata: “Wahai Rasulullah! ini Ummu Sulaim berkata: “Wahai Rasulullah apabila ada orang musyrik yang mendekatiku maka akan robek perutnya dengan badik ini”.
Anas berkata: “Rasulullah berperang bersama Ummu Sulaim dan para Wanita dari kalangan Anshar, apabila berperang, para wanita tersebut memberikan minum kepada mujahidin dan mengobati yang luka”.
Begitulah Ummu Sulaim memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Rasulullah, beliau tidak pernah masuk rumah selain rumah Ummu Sulaim bahkan Rasulullah telah memberi kabar gembira bahwa beliau termasuk ahli surga. Beliau bersabda :
“Aku masuk ke surga, tiba-tiba mendengar sebuah suara, maka aku bertanya: “Siapa itu?”. Mereka berkata: “Dia adalah Rumaisha` binti Malhan ibu dari Anas bin Malik”.
Selamat untukmu wahai Ummu Sulaim, karena anda memang sudah layak mendapatkan itu semua, engkau adalah seorang istri shalihah yang suka menasehati, seorang da`iyah yang bijaksana, seorang pendidik yang sadar sehingga memasukkan anaknya ke dalam madrasah nubuwwah tatkala berumur sepuluh tahun yang pada gilirannya beliau menjadi seorang ulama diantara ulama Islam, selamat untukmu…..selamat untukmu…
(Diambil dari buku Mengenal Shahabiah Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam dengan sedikit perubahan, penerbit Pustaka AT-TIBYAN, Hal. 204)
sumber: